Pemerintah dan sejumlah ormas Islam meyakini penetapan 1 Syawal 1431 H yang menandai Idul Fitri akan menghasilkan putusan yang sama. Karena itu, pemerintah terus mendorong ormas-ormas Islam Indonesia membuat kesepakatan kriteria penentuan awal dan akhir bulan terutama Ramadhan, Syawal, dan Zulhijjah. Sementara itu, Kementerian Agama (Kemenag) akan menggelar sidang isbat (penetapan) Idul Fitri pada Rabu, 8 September, mendatang.
Hal itu dikemukakan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama (Kemenag) Nasaruddin Umar dan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Said Aqil Sirajd secara terpisah, di Jakarta, kemarin.
Nasaruddin Umar mengatakan, langkah ini dilakukan sebagai upaya pemerintah mencari titik temu perbedaan metodologi penentuan bulan yang terjadi antarormas. “Paling tidak mendekatkan penafsiran dan meminimalkan perbedaan,” ujarnya.
Nasaruddin menuturkan, sebagaimana aturan yang berlaku, jika terjadi perbedaan, maka dikembalikan ke pemerintah selaku uli al-amri. Namun, di Indonesia hasil keputusan pemerintah tidak dipaksakan. Sebab, hal ini menyangkut keyakinan yang merupakan hak asasi manusia.
Oleh karena itu, menurut dia, yang terpenting saling menghormati perbedaan. Kebersamaan dan persatuan butuh proses. Ke depan, lambat laun akan terjadi kesepakatan tentang standardisasi penentuan hilal.
Sementara itu, PBNU yakin tidak akan terjadi perbedaan. Jika puasa selama 30 hari, berarti Idul Fitri jatuh pada 10 September 2010. “Tapi, kalaupun terjadi perbedaan, maka perbedaan itu hal biasa. Sebab, masing-masing berdasar pada kriteria yang dianut,” ujar Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siradj kepada wartawan, saat berbuka puasa bersama dengan para ulama, duta besar negara sahabat, dan pengurus PBNU di gedung PBNU Jakarta, Sabtu (4/9).
Hadir dalam acara buka puasa bersama tersebut antara lain Wakil Ketua Umum PBNU As’ad Ali Said, Sekjen PBNU H Iqbal Sullam, Enceng Sobirin, Mun’im DZ, Menakertrans A Muhaimin Iskandar, dan Menteri PDT A Hilmy Faishal Zain.
Menurut kiai asal Cirebon, Jawa Barat, ini persoalan perbedaan penetapan hari raya tidak perlu dibesar-besarkan, apalagi hal itu bukan hal baru di Tanah Air. Dia mengatakan, hal ini masalah kecil lantaran di antara negara Arab juga sering berbeda.
Organisasi Islam di Indonesia, menurut dia, sebenarnya telah mencoba upaya untuk mengurangi kemungkinan perbedaan dalam penetapan hari raya. Namun, hal itu belum banyak mendapatkan hasil. “Upaya meminimalkan perbedaan tak semudah itu karena beda dasar pijakan,” katanya.
Dia menyebutkan, meski NU memakai metode hisab dalam penyusunan kalender Islam, dalam menetapkan jatuhnya hari raya tetap mengacu pada metode rukyat atau pengamatan secara langsung terhadap bulan.
“Kita juga mengerti hisab. Tapi, mengacu pada hadis Nabi, masalahnya bukan ada bulan atau tidak, tapi bulannya kelihatan apa tidak. Ini acuan NU,” katanya.
Yang pasti, bagi NU, penentuan awal bulan itu harus didahului dengan ru’yat al-hilal bi al-fi’li, yaitu melihat bulan dengan mata telanjang di berbagai titik yang telah ditetapkan oleh PBNU dan Kementerian Agama.
“Bahwa pengertian ru’yat al-hilal itu bukan berarti hilal ada atau tidak ada, melainkan hilal itu terlihat atau tidak. Dan, perbedaan sering terjadi antarnegara-negara di Timur Tengah, yang jaraknya berdekatan. Misalnya, antara Yaman dan Mesir, Arab Saudi dan Yordania, dan lain-lain. Jadi, perbedaan itu biasa saja dan tidak usah dibesar-besarkan,” tutur Said Aqil menambahkan.
Di lain pihak, Kepala Subdit Pembinaan Syariah dan Hisab Rukyat Kemenag Muhyiddin mengatakan, sejak tahun 1992 pemerintah telah berupaya menjembatani pembahasan hilal antara ormas yang ada. Termasuk di dalamnya memberikan arahan kepada ormas yang sering mendahului awal dan akhir Ramadhan seperti An-Nadzir Gowa; Naqsyabandiyah Khalidiyah, Jombang, Jawa Timur; Naqsyabandiyah Padang; dan Sattariyah Medan.
Akan tetapi, menurut dia, upaya itu menemui kendala. Masing-masing pihak mempertahankan pendapat dan mengklaim argumen yang disampaikan benar serta ciri khas metodologi mereka. Dengan demikian, terkesan pihak yang berbeda pendapat tidak mencari solusi yang terbaik untuk kebersamaan umat. Padahal, dana kegiatan hisab dan rukyat tahun 2009 mencapai Rp 400 juta.
Muhyiddin mengatakan, akar persoalan bukan kriteria hilal, melainkan kemauan masing-masing pihak mendiskusikan dan mencari kesapakatan. Buktinya, alternatif kriteria hilal yang pernah diajukan pemerintah tidak diterima.
Kriteria tersebut, sebagaimana tertuang dalam hasil keputusan musyawarah alim ulama dan pakar hisab rukyat nasional tahun 1998, kriteria hilal adalah tinggi minimum 2 derajat, berumur 8 jam, dan jarak sudut antara matahari dan bulan 3 derajat. (Suara Karya).*
0 comments:
Post a Comment